Minggu, 28 Oktober 2012

Di Balik Hari Suci Purnama

bulan













Om Swastyastu
Landasan Sastra Hari Suci Purnama
Sungguh merupakan suatu keberuntungan bahwasanya umat Hindu banyak mempunyai hari-hari suci dan tempat-tempat suci. Hal ini menandakan bahwa potensi untuk memuja ke arah perbaikan karakter dan budi pekerti selalu ada. Karena tempat-tempat suci lebih banyak mengandung energi vibrasi kebaikan, aura kedamaian dan ketenangan. Jika hati dan pikiran sedang sumpek atau diliputi oleh angkara murka maka seseorang dianjurkan untuk mengunjungi tempat-tempat suci tersebut.
Pumama merupakan hari suci bagi umat Hindu, yang harus disucikan dan dirayakan untuk memohon waranugraha dari Hyang Widhi. Pada hari Purnama adalah payogaan Sanghyang Chandra sementara pada hari Tilem adalah payogaan Sanghyang Surya. Kedua-duanya sebagai kekuatan dan sinar suci Hyang Widhi dalam manifestasiNya berfungsi sebagai pelebur segala mala (kekotoran) yang ada di dunia. Di dalam Sundarigama, ada disebutkan sebagai berikut :
“Muah ana we utama parersikan nira Sanghyang Rwa Bhineda, makadi, sanghyang surya candra, atita tunggal we ika Purnama mwang Tilem. Yan Purnama Sanghyang Wulan ayoga, yan ring Tilem Sanghyang Surya ayoga ring sumana ika, para purahita kabeh tekeng wang sakawangannga sayogya ahening-hening jnana, ngaturang wangi-wangi, canang biasa ring sarwa Dewa pala keuannya rin Sanggar, Parhyangan, matirtha gocara puspa wangi”.
Ada hari-hari yang utama penyelenggaraan upacara persembahyangan yang sejak dahulu sama nilai keutamaannya yaitu pada hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama, bertepatan dengan Sanghyang Candra beryoga dan pada hari Tilem, bertepatan dengan saat Sanghyang Surya beryoga memohonkan keselamatan dunia kehadapan Hyang Widhi Wasa. Pada hari suci yang demikian itu sudah seyogyanya para rohaniawan dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir bathin dengan melakukan upacara persembahyangan di Sanggar-sanggar atau Parhyangan-parhyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang Widhi.
Lebih lanjut, di dalam Clokantara disebutkan juga sebagai berikut :
"Kalingannya, yan Purnama Tilem kala Sang Sadhujana menghanaken punyadhana tunggal mulih sepuluh ika de Bhatara”.
Bila pada hari Purnama atau Tilem umat manusia menghaturkan upakara yadnya dan persembahyangan kehadapan Hyang Widhi, dari nilai satu aturan (bhakti) yang dipersembahkan itu akan mendapat imbalan anugrah bernilai sepuluh dari Hyang Widhi.
Demikianlah hari Purnama itu yang merupakan hari suci yang harus dirayakan oleh umat Hindu untuk memohon waranugra berupa keselamatan dan kesucian lahir bathin. Pada hari Purnama hendaknya mengadakan upacara-upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya sebagai salah satu aspek daripada pengamalan ajaran agama.
Hari Purnama jatuh setiap bulan penuh (Sukla Paksa), sedangkan Tilem jatuh setiap bulan mati (Krsna Paksa). Baik Purnama maupun Tilem datangnya setiap 30 atau 29 hari sekali.
Mitologi Gerhana Bulan
Kisah ini terjadi ketika para Raksasa dan para Dewa bekerja sama mengaduk lautan susu untuk mencari “ Tirtha Amertha “ atau Tirtha Kamandalu. Konon siapa saja yang meminum Tirtha itu maka dia akan abadi (tidak bisa mati ). Maka setelah tirtha itu didapatkan kemudian dibagi rata. Tugas untuk membagi Tirtha itu tidak lain adalah Dewa Wisnu yang menyamar menjadi gadis cantik, lemah gemulai. Dalam kesepakatan diatur bahwa para Dewa duduk di barisan depan sedangkan para Raksasa di barisan belakang. Kemudian ada raksasa yang bernama “ Kala Rahu “ yang menyusup di barisan para Dewa, dengan cara merubah wujudnya menjadi Dewa. Namun penyamarannya ini segera diketahui oleh Dewa Chandra / Bulan. Maka ketika tiba giliran raksasa Kala Rahu mendapatkan “ Tirtha Keabadian “. Disitulah Dewa Candra berteriak “ Dia bukan Dewa, dia adalah raksasa Kala Rahu “ namun sayang Tirtha tersebut sudah terlanjur diminum. Maka tak ayal lagi Cakra Dewa Wisnu menebas leher Sang Kala Rahu. Tetapi karena lehernya sudah tersentuh oleh Tirtha Keabadian sehingga tidak bisa mati, wajahnya tetap abadi dan melayang-layang di angkasa, sedangkan tubuhnya mati karena belum sempat tersentuh oleh Tirtha Kamandalu. Sejak saat itu dendamnya terhadap Dewa Bulan tak pernah putus-putus. Dia selalu mengincar dan menelan Dewa Chandra pada waktu Purnama. Tapi karena tubuhnya tidak ada maka sang rembulan muncul kembali ke permukaan. Begitulah setiap Sang Kala Rahu menelan Dewa Bulan, terjadilah gerhana.
Bulan yang terang benderang kemudian berubah menjadi gelap-gulita, itu disebut dengan gerhana bulan. Tanda -tanda alam seperti ini sering dihubung-hubungkan akan terjadinya peristiwa di bumi. Misalnya beberapa hari atau beberapa minggu di daerah tertentu terjadi bencana alam, wabah penyakit, keributan atau bentrok antar masa dan sebagainya. Untuk menggantisipasi hal tersebut, orang-orang yang bijaksana, orang-orang wikan, para sesepuh, para rohaniawan dan yang mengetahui seluk-beluk kejadian tanda-tanda alam, biasanya sepakat melakukan yoga semadhi dan mendoakan agar bumi ini terhindar dari bencana.
Gerhana juga diidentikan dengan seseorang yang tadinya riang gembira, bersuka ria, bersika cita, tiba-tiba berubah murung sedih, karena ada salah satu anggota keluarga yang meninggal atau tertimpa musibah. Orang yang demikian dikatakan hatinya diiputi oleh gerhana. Tradisi di Bali jika terjadi gerhana bulan, maka orang-orang sibuk menyembunyikan kentongan atau benda apa saja yang bisa dipukul. Tujuannya adalah untuk mengusir kala Rahu yang menelan bulan. Mitos ini tertuang dalam sebuah purana yang kemudian menjadi sebuah dongengnya yang sangat populer.
Makna yang terkandung dalam mitologi tersebut adalah jika seseorang belum bisa melepaskan sifat-sifat keraksaannya maka dia belum boleh mendapatkan keabadiaan. Sang Kala Rahu yang tidak sabar menunggu giliran akhirnya kehilangan tubuhnya. Sedangkan Dewa Chandra yang menjadi sasaran kemarahan sang Kala Rahu harus mengunggu akibatnya. Dimana jika terjadi gerhana, maka dunia akan mengalami bencana atau musibah.
Oleh para Ilmuwan gerhana disorot sebagai peristiwa alam biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Namun bagi umat Hindu dan bagi kalangan penganut supranatural dan kebathinan, gerhana bulan tetap harus diwaspadai, dengan selalu eling dan waspada, karena setelah terjadinya gerhana kerap kali terjadi peristiwa-peristiwa alam yang tak terduga.
Sarana Pemujaan
Pada waktu melakukan pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pada setiap hari Purnama umat dapat mempersembahkan upakara berupa: daun, bunga, buah dan air yang ditata sedemikian rupa menjadi sebuah sesaji atau banten , dan atau juga dengan mempersembahkan canang sari yang merupakan simbol mempersembahkan karma wasana dalam bentuk pikiran, kata-kata dan berbagai jenis perbuatan kehadapanNya baik itu pada kehidupan yang terdahulu, sekarang maupun yang akan datang.
Persembahan upakara ini tentu harus dilandasi dengan perasaan kasih yang tulus, sebagai wujud bhakti kepadaNya. Perbedaan dalam hal bentuk sesajen atau banten, sesungguhnya hanyalah kulit luarnya saja, namun makna yang terkandung didalamnya tetap sama. Perbedaan bentuk sesajen atau banten di tiap-tiap daerah tentu tidak bisa lepas dari konsep Desa, Kala, Patra. Yang terpenting adalah jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan pada saat Purnama untuk melakukan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Sang Hyang Chandra, dengan bhakti yang mendalam, dengan hati penuh kelembutan, kewaspadaan, dan kewaskitaan. Senantiasa eling dan waspada, sehingga tidak terpengaruh oleh nafsu-nafsu jahat dalam diri dengan cara sujud dan bhakti kepadaNya. Jika seseorang sudah dipenuhi dengan kebhaktian yang tulus maka nafsu-nafsu jahat akan sulit mempengaruhinya. Namun demikian sebagai bahan acuan untuk masing-masing Rumah Tangga, dapat menggunakan upakara sebagai berikut:
a. Pelinggih Pokok (Padmasasri, Rong Tiga): Pejati (Daksina, Peras, Soda, Tipat Kelanan, Penyeneng, Pasucian, Canang Sari)
b. Pelinggih Lainnya (Penunggu Karang, piyasan, dsb) : Sode / Ajuman + Canang Sari
c. Sor dan di Lebuh : Segehan Cacahan
Purnama dan Jati Diri
Umat Hindu meyakini Bahwa kelahirannya di dunia ini tidak terlepas dari pengaruh karma masa lalunya. Sisa- sisa karma dimana hidup yang terdahulu disebut dengan karma wasana. Maka pada saat Purnama ini kita juga hendaknya mengadakan pembersihan secara lahir bathin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrahNya, juga kita hendaknya mengadakan pembersihan dengan air (mandi yang bersih). Menurut pandangan Hindu bahwa air merupakan sarana pembersihan yang amat penting di dalam kehidupan manusia. Air disamping merupakan sarana pembersih, juga sebagai pelebur kekotoran.
Adbhirgatrani suddhyati, manah satyena suddhyati
vidyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena suddhyati
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pengetahuan (pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan kebijaksanaan (pengetahuan) yang benar. (Manavadharmasastra V.109).
Kondisi bersih secara lahir bathin di dalam kehidupan ini sangat perlu, karena di dalam tubuh dan jiwa yang bersih akan muncul pemikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula, sehingga tercapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Jadi kebersihan sangat penting artinya untuk bisa tercapai suatu kebahagiaan, lebih-lebih dalam hubungannya dengan pemujaan kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Suci), maka kebersihan (kesucian) secara lahir bathin merupakan syarat mutlak.
Renungan
Namun demikian kepercayaan akan adanya peristiwa yang tak diharapkan tetap terus diwaspadai. Purnama memberi kesempatan seluas-luasnya pada umat manusia untuk melakukan ritual pemujaan. Pengendalian diri dan pendidikan budi pekerti. Hendaknya hari suci purnama betul-betul dimanfaatkan untuk memupuk nilai-nilai keimanan dalam diri setiap orang, dan orang yang berilmu pengetahuan hendaknya seperti Bulan Purnama memberi kesejukan dan penerangan bagi semuanya.
Purnama hari yang identik dengan kesucian, keharmonisan, kegembiraan. Bulatkan tekad dan niat untuk selalu berada di jalan yang lurus, percaya diri bahwa Sang Hyang Widhi Wasa akan senantiasa membimbing umatNya menuju ke alam yang Sunyata, alam yang tidak ada konflik , alam kebebasan , alam kebahagiaan Illahi. Pastikan Beliau senantiasa hadir di tengah-tengah pemujaNya. Lakukan pemujaan dengan setulus-tulusnya. Dia yang dipuja turut memuja, memberkati dengan rahmatNya, dengan senyum manisnya dengan kasih sayangNya. Dia yang tulus, meluluskan permohonannya dengan karunia dan kebijaksanaannya. Dia yang berbhakti, terberkati dengan karunia yang berlimpah. Dia yang menghibur, terhibur dengan alunan musik surgawi dan kedamaian. Dia yang mempersembahkan kidung perdamaian, memperoleh anugerah Shanti di hatinya, dan kasih sayang yang tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar